Bidang
bimbingan dan konseling yang ada selama ini telah banyak digeluti oleh berbagai
pihak dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Sebagian besar diantara
mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan bidang bimbingan dan konseling.
Di samping itu, literature yang memberikan wawasan, pengertian, dan berbagai
seluk beluk teori dan praktek bimbingan dan konseling yang dapat memperluas dan
mengarahkan pemahaman mereka itu juga masih sangat terbatas.
Melihat
hal tersebut diatas, maka tak heran bila dalam kenyataannya masih banyak
terjadi kesalahpahaman tentang bimbingan dan konseling. Kesalahpahaman yang
sering diumpai di lapangan antara lain adalah sebagai berikut:
- Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada
dua pendapat yang berbeda kaitannya dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling.
- Bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Jadi dengan sendirinya sudah termasuk ke dalam usaha sekolah yang menyelenggararakan pendidikan. Sekolah tidak perlu bersusah payah menyelenggarakan bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri. Pendapat ini cenderung mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan dan sama sekali tidak melihat pentingnya bimbingan dan konseling.
- Bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga ahli dengan perlengkapan yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan ini harus secara nyata dibedakan dari praktek pendidikan sehari-hari.
Kedua pendapat tersebut diatas
adalah pandangan-pandangan ekstrem yang perlu dievaluasi. Memang secara umum
bimbingan dan konseling di sekolah termasuk ke dalam ruang lingkup upaya
pendidikan, namun bukan berarti pengajaran (yang baik) saja akan menjangkau
seluruh misi pendidikan di sekolah. Sekolah juga harus memperhatikan
kepentingan peserta didik untuk bisa membuat mereka berkembang secara optimal.
Maka dalam hal ini, peran bimbingan dan konseling adalah menunjang seluruh
usaha sekolah demi keberhasilan peserta didik.
2. Konselor
di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Masih
banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah
yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan
sekolah. Anggapan ini mengatakan ”barangsiapa diantara siswa-siswa melanggar
peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang
pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian.
Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk
mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk
mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengakua bahwa ia telah berbuat
sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang ajar, atau merugikan. Misalnya
konselor ditugasi mengungkapkan agar siswa mengakui bahwa ia mengisap ganja dan
sebagainya. Dalam hubungan ini pengertian konselor sebagai mata-mata yang
mengintip segenap gerak-gerik siswa agar dapat berkembang dengan pesat.
Berdasarkan
pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor
karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib,
ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat negative lainnya. Padahal
sebaliknya, dari segenap anggapan yang merugikan itu, di sekolah konselor
haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Disamping petugas-petugas lainnya
di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa, apa
yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling
bukanla pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa
saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring
petunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan Pembina tingkah laku positif yang
dikehendaki. Petugas bimbingan dankonseling hendaknya bisa menjadi si tawar si
dingin bagi siapaupun yang dating kepadanya. Dengan pandangan, sikap,
ketrampilan, dan penampilan konselor siswa aatau siapapun yang berhubungan
dengan konsellor akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
3. Bimbingan
dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasehat
Pelayanan
bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka
pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping memerlukan pemberian
nasehat, pada umumnya klien sesuai dengan problem yang dialaminya, memerlukan
pula pelayanan lain seperti pembrian informasi, penempatan dan penyaluran,
konseling, bimbingan belajar, pengalih tangan kepada petugas yang lebih ahli
dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan masayarakat, dan sebagainya.
Konselor
juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta mensinkronisasikan upaya
yang satiu dan upaya lainnya sehingga keseluruhan upaya itu menjadi suatu
rangkaian yang terpadu dan bersinambungan.
4. Bimbingan
dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat incidental
Pada
hakikatnya pelayan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu
yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Di samping itu konselor seyogyanya
tidak hanya menunggu klien datang dan mengungkapkan masalahnya.
Maka
petugas bimbingan dan konseling harus terus memasyarakatkan dan membangun
suasana bimbingan dan konseling, serta mampu melihat hal-hal tertentu yang
perlu diolah ditanggulangi, diarahkan, dibangkitkan, dan secara umum
diperhatikan demi perkembangan segenap individu.
5. Bimbingan
dan konseling dibatasi hanya untuk klien-kliean tertentu saja.
Bimbingan
dan konseling tidak mengenal penggolonan siswa-siswa atas dasar mana golongan
siswa tertentu dalam memperoleh palayanan yang lebih dari golongan yang
lainnya. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pelayanan dan bimbingan konseling, kapan, bagimana, dan di mana pelayanan itu
diberikan. Pertimbangannya semata-mata didasarkan atas sifat dan jenis masalah
yang dihadapi serta ciri-ciri keseorangan siswa yang bersangkutan.
Petugas
bimbingan dan konseling membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja
siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling.
Kalaupun
ada penggolongan, maka penggolongan didasarkan atas klasifikasi masalah
(seperti bimbingan konseling pendidikan, jabatan/ pekerjaan,
keluarga/perkawinan), bukan atas dasar kondisi klien (misalnya jenis kelamin,
kelasa social/ekonomi, agama, suku, dan sebagainya). Lebih jauh klasifikasi
masala itu akan mengarah pada spesialisasi keahlian konseling tertentu sesuai
dengan permasalahan yang ada.
6. Bimbingan
dan konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang normal”
Ada
asumsi bahwa bimbingan konseling hanya melayani orang-orang normal yang
mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap fungsi yang ada pada diri
seseorang yang normal dapat berjalan dengan baik, dia akan dapat menjalin
kehidupannya secara normal pula? Kehidupan yang normal ini pasti menuju
kebaikan dan kewajaran. Sayangnya, bekerjanya fungsi-fungsi yang sebenarnya
normal itu kadang-kadang terganggu atau arahnya tidak tetap sehingga memerlukan
bantuan konselor demi lebih lancar dan lebih terarahnya kegiatan fungsi-fungsi
tersebut.
Jika
seseorang ternyata mengalami keabnormalan tertentu, apalagi kalau sudah
bersifat sakit jiwa, maka orang tersebut sudah seyogianya menjadi klien
psikeater. Masalahnya ialah masih banyak konselor yang terlalu cepat
menggolongkan atau setidak-tidaknya menyangka seseorang mengalami keabnormalan
mental atau ketidaknormalan jiwa, sehingga terlalu cepat pula menghentikan
pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling dan menyarankan klien agar pergi
saja ke psikeater. Hal ini tentu saja tidak pada tempatnya atau bahkan
berbahaya. Klien yang sebenarnya tidak sakit, tetapi oleh konselor dikirim ke
dokter atau psikeater, pertama-tama
akan menganggap bahwa konselor tersebut sebenarnya ahli; keahlianya adalah
semua atau setidak-tidaknya diragukan. Sebagai akibatnya, klien tidak lagi
mempercayainya. Konselor-konselor yang demikian itu akan memudarkan citra
profesi bimbingan dan konseling. Kedua,
klien berkemungkinan akan mempersepsi masalah yang dialaminya secara salah.
Atau mungkin akan memprotes pengiriman yang salah alamat itu dan memeberikan
reaksi-reaksi lain yang justru memperberat masalah yang dialaminya.
Konselor
yang memiliki kemampuan yang tinggi, akan mampu mendeteksi dan mempertimbangkan
lebih jauh tentang mantap atau kurang mantapnya fungsi-fungsi yang ada pada
klien, sehingga kliennya perlu dikirim kepada dokter atau psikiater atau tidak.
Penanganan masalah oleh ahlinya secara tepat akan memberikan jasmani yang lebih
kuat bagi keberhasilan pelayanan.
7. Bimbingan
dan konseling bekerja sendiri
Pelayanan
bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang
bekerja sendiri sarat dengan
unsur-unsur budaya, social dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan
dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerjasama dengan
orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang dihadapi
oleh klien.
Di
sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri
sendiri. Masalah itu seringkali terkait dengan orangtua siswa, guru dan
pihak-pihak lain; terkait pila dengan berbagai unsure lingkungan rumah, sekolah
dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penanggulangan tidak dilakukan
sendiri oleh konselor saja. Dalam hal ini peranan guru, orang tua
danpihak-pihak llain sering kali sangat menentukan. Konselor harus pandai
menjalin hubungan kerjasama yang saling mengerti dan saling menunjang demi
terbantunya siswa yang mengalami masalah. Disamping itu. Konselor harus pula
memanfaatkan berbagi sumber daya yang ada dan dapat diadakanuntuk kepentingan
pemecahan masalah siswa.
8. Konselor
harus aktif, sedangkan pihak lain pasif
Sesuai
asas kegiatan, disamping kinselor bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan
dan konseling, pihak lainpun, terutama klien, harus secara langsung aktif
terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak
membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka hendaknya membantu
kelancaran usaha pelayanan. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling
adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakannpada
konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha itu hanya
dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan
kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
9. Bimbingan
dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja
Pada
umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan
atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun demikian, jika pembahasan
masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan, seringkali ternyata bahwa
masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar
tampak atau disampaikan itu. Bahkan kadang– kadang masalah yang sebenarnya,
sama sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan itu. Usaha pelayanan
seharusnya dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu. Konselor tidak boleh
terpukau oleh keluahan atau masalah yang pertama disampaikan oleh kien.
Konselor harus mampu menyelami sedala-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.
10. Menganggap
pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakuka oleh siapa saja.
Pekerjaan
bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja, jika dianggap sebagai
pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran saja. Tapi jika
pekerjaan bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip-prisip
keilmuan (mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan
kata lain dilaksanakan secara professional, maka pekerjaan ini tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang.
Salah
satu ciri profesionalnya adalah pelayanan itu dilakukan oleh orang-orang yang
ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui
pendidikan dan latihan yang cukup.
11. Menyamakan
pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater
Memang
dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan
konseling dengan pkerjaan dokter atau pskiater, yaitu sama-sama menginginkan
klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya. Di samping itu,
baik konselor maupun dokter atau psikiater, memakai teknik-teknik yang sudah
teruji pada bidang pelayananya masing-masing untuk mengungkapkan masalah
klin/pasien, untuk melakukan pragnosis dan diagnosis, dan akhirnya menetapkan
cara-cara pengentasan masalah atau penyembuhannya. Namun demikian, pkerjaan
bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau
psikiater. Baik dokter atau psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan
konselor bekerja dengan orang sehat yang sedang mengalami masalah.
Cara
penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater ialah dengan memakai obat dan
resep serta teknik pengobatan dokter atau psikiater lainnya, sedangkan
bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah melalui jalan
pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, penguatan tingkah laku,
pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta teknik-teknik bimbingan dan
konseling lainnya, sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan
masalah melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis,
penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta
upaya-upaya perbaikan, serta tehnik-tehnik bimbingan dan konseling lainnya.
12. Menganggap
hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat
Usaha-usaha
bimbingan dan konseling bukanlah hal yang instant, tapi menyangkut aspek-aspek
psikologi/mental dan tingkah laku yang kompleks. Maka proses ini tidak bisa
didesak-desakkan agar cepat matang dan
selesai. Pendekatan ingin mencapai
hasil segera justeru dapat melemahkan proses itu sendiri. Ini bukan
berarti bahwa usaha bimbingan dan konseling boleh santai-santai saja menghadapi
masalah klien, karena proses bimbingan dan konseling adalah hal yang serius dan
penuh dinamika, maka harus wajar dan penuh tanggung jawab.
Petugas
bimbingan dan konseling harus berusaha sebaik dan seoptimal mungkin dalam
menghadapi masalah klien.
13. Menyamaratakan
cara pemecahan masalah bagi semua klien
Segala
cara yang dipakai untuk mengatasi masalah harus disesuaikan dengan pribadi
klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak semua masalah bisa
diselesaikan dengan cara yang sama, bahkan masalah yang sama sekalipun.
Pada
dasarnya, pemakaian suatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat
masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan konseling, dan
sarana yang tersedia.
14. Memusatkan
usaha bimbibingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi dan
konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya)
Perlu
diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang pasti ada dan dapat
dikembangkan pada diri konselor adalah ketrampilan
pribadi. Dengan kata lain koselor tidak seharusnya terganggu dengan ada
atau tiadanya instrument-instrumen pembantu (tes, inventori, angket, dan
sebagainya). Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan
apa yang dimiliki secar optimal sambil terus berusaha mengembangkan
sarana-sarana penunjang yang diperlukan.
15. Bimbingan
dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja
Berat
atau ringannya sebuah masalah bukanlah hal yang mudah untuk ditetapkan. Oleh
karena itu, memberikan sifat ringan atau
berat pada masalah yang
dihadapi klien tidaklah perlu, karena hal itu tidak akan membantu meringankan
usaha pemecahan masalah. Yang terpenting adalah bagaimana menanganinya dengan
cermat dan tuntas.
Apabila
seluruh kemampuan konselor tidak bisa mengatasi masalah klien, maka diperlukan
pengalihtanganan. Pengalihtanganan tidak harus sekaligus kepada psikiater atau
ahli-ahli lain diluar bidang bimbingan dan konseling. Alih tangan pada tahap
pertama hendaknya dilakukan kepada sesame konelor sendiri yang memiliki
keahlian yang lebih tinggi. Dan bila ternyata ditemukan gejala-gejala kelainan
kejiwaan misalnya, maka ahli tangan sebaiknya diserahkan kepada psikiater.
SANGAT BERMANFAAT SEKALI UNTUK SAYA TERMAKASIH....
BalasHapus